BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Orde
Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde
Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde
Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang
dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam
jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini
terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain
itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Dengan menggunakan Orde Baru
pimpinan militer di bawah Suharto telah selama puluhan tahun mengebiri
kehidupan demokratik, menindas kebebasan bersuara dan berorganisai, mengontrol
pers, membungkam suara kritis, memalsu Pancasila, melakukan terror berjangka
lama, membunuhi dan menculik para penentangnya, sambil mengeruk kekayaan publik
dengan cara-cara haram, serta melakukan korupsi dan pencurian dengan berbagai
bentuk dan cara. tindakan Orde Baru (yang selama puluhan tahun didukung Golkar
dan golongan militer) ini sebagian terbesar rakyat Indonesia telah mengalami
berbagai macam penderitaan, walaupun yang paling menderita adalah golongan kiri
atau anggota-anggota PKI dan simpatisannya.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Kejadian apa saja yang terjadi pada masa
Orde Baru?
2. Bagaimana keadaan Indonesia pada masa Orde
baru?
3. Mengapa pada masa Orde baru banyak terjadi
kejahatan besar terhadap bangsa?
1.3 Tujuan
1.
Agar kita
dapat mengetahui Sejarah pada masa
Orde Baru.
2.
Untuk
memenuhi tugas makalah Mata Kuliah Sejarah Nasional Indonesia 4.
3.
Untuk
mengetahui penyimpangan pada masa Orde Baru
1.4
Manfaat
1. Memberikan
pengetahuan tentang fakta sejarah pada masa Orde Baru.
2.
Memberikan pengetahuan tentang keadaan
polikik, sosial, ekonomi dan kejadian-kejadian pada masa Orde Baru.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Peristiwa Gerakan 30 September
Gerakan 30 September
atau yang sering disingkat G 30 S PKI,
G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga
Puluh), Gestok (Gerakan Satu
Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September
sampai di awal 1 Oktober
1965
di mana enam perwira tinggi militer Indonesia
beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta
yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
Pada
bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah
dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat
tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke
posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut
"Demokr`si Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia
mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan
Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada
era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan
kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh
dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak.
Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus
menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Pada
kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai memberikan
100.000 pucuk senjata chung. Penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian
dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai
meletusnya G30S. Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno
menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan hasutan
dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral
militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut
"Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia
mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan
Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Alasan utama
tercetusnya peristiwa G30S disebabkan sebagai suatu upaya pada melawan apa yang
disebut "rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup d‘etat terhadap
Presiden Sukarno“.
Aktivitas PKI
dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S, makin
agresif. Meski pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi serangan yang
sangat kasar misalnya terhadap apa yang disebut "kapitalis birokrat“
terutama yang bercokol di perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok
Agraria yang tidak menepati waktunya sehingga melahirkan "Aksi Sepihak“
dan istilah "7 setan desa“, serta serangan-serangan terhadap pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya bertitik berat kepada
"kepemimpinan“-nya dan mengabaikan "demokrasi“-nya, adalah pertanda meningkatnya rasa
superioritas PKI, sesuai dengan statementnya yang menganggap bahwa secara
politik, PKI merasa telah berdominasi. Anggapan bahwa partai ini berdominasi,pada akhirnya tidak lebih
dari satu ilusi.
Ada pun Gerakan 30
September 1965, secara politik dikendalikan oleh sebuah Dewan
Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam), bermarkas
di rumah sersan (U) Suyatno di komplek
perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim. Sedang operasi militer dipimpin oleh
kolonel A. Latief<.span> sebagai komandan
SENKO (Sentral Komando) yang bermarkas di Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan
operasi dikendalikan dari gedung PENAS (Pemetaan Nasional), yang juga instansi
AURI dan dari Tugu MONAS (Monumen Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah
Letkol. Untung Samsuri.
Menurut keterangan,
sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI mengambil alih semua
wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang dianggap sah, hanyalah yang
bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah nampak bahwa gerakan akan mengalami
kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan sesuai dengan
rencana, maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan ialah
bagaimana mencari jalan menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan bantuan
AURI, terbang ke Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dan tak bisa ditemui
oleh teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai gerakan selanjutnya.
Antara kebenaran
dan manipulasi sejarah. Dalam konflik penafsiran dan kontroversi narasi atas
Peristiwa 30 September 1965 dan peranan PKI, klaim kebenaran bagaikan pendulum
yang berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya, sehingga membingungkan
masyarakat, terutama generasi baru yang masanya jauh sesudah peristiwa terjadi.
Tetapi perbedaan versi kebenaran terjadi sejak awal segera setelah terjadinya peristiwa.
Di tingkat
internasional, Kantor Berita RRC (Republik Rakyat Cina), Xinhua, memberikan
versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan Darat
Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya
percobaan kudeta oleh PKI.
Presiden Soekarno
pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa
sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang keblinger dan
terpancing oleh insinuasi Barat, lalu melakukan tindakan-tindakan, dan karena
itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah
perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam
penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama AD pada
tengah malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera
diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang
pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada
tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan
telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap kekejaman, melebihi peristiwa
sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian pembunuhan para jenderal
menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang
hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan melampaui batas
yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga
tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.
Setelah berakhirnya
masa kekuasaan formal Soeharto, muncul kesempatan untuk menelaah bagian-bagian
sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan PKI yang dianggap
kontroversial atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu memang kemudian
digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam batas kompetensi
kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa atau
terlibat keanggotaan PKI. Bila sebelum ini penulisan versi penguasa sebelum
reformasi banyak dikecam karena di sana sini mengandung unsur manipulasi
sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula
kecenderungan manipulatif yang sama yang bertujuan untuk memberi posisi baru
dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata. Pendulum sejarah
kali ini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa sebelumnya diayunkan
terlalu jauh ke kanan.
Terdapat sejumlah
nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan cermat dan arif,
dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa politik
sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30
September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu
peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik
dan dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha
merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan
sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan kekuasaan, kasat mata, ada
dokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku politik dalam rangka pertarungan
kekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah soal lain yang memang perlu lebih
diperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke waktu, untuk lebih mendekati
kebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran tak boleh dihentikan. Bahwa
dalam proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan konflik politik maupun
konflik sosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu Nasakom 1959-1965,
terjadi malapetaka berupa pembunuhan massal dalam perspektif pembalasan dengan
anggota-anggota PKI terutama sebagai korban, pun merupakan fakta sejarah. Ekses
telah dibalas dengan ekses, gejala diperangi dengan gejala.
Isu Dewan Jenderal
Pada saat-saat yang
genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang
mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap
Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno
disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa
mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi
penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang
termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono. GBU
Isu Keterlibatan Soeharto
Hingga saat ini
tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan
tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto
yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima
Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda
dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief
di Rumah Sakit
Angkatan Darat.
Korban
Keenam pejabat tinggi yang
dibunuh tersebut adalah:
· Mayjen
TNI Mas Tirtodarmo Haryono(Deputi III
Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
Jenderal TNI Abdul Harris
Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan
tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan
beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha
pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang
lainnya juga turut menjadi korban:
Para korban
tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede,
Jakarta
yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Pasca kejadian
Pasca pembunuhan beberapa
perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat
dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka
Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September
yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan
mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan
Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan
DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan
Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem
072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua
perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan
Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan
sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan. Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan
berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim
di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober
Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional",
yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian
kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua
anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi
Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak
ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober
1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev,
Mikoyan
dan Kosygin mengirim pesan
khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk
mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh
minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap
tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara
mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober
1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima
Angkatan Darat di Istana Negara.
Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto
disumpah:
“
|
Saya perintahkan
kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya
berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik
Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali
menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti,
yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas
prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK telah ditentukan
oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia.
Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik
Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua
kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian
Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita
semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima
Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau,
kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan
Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!
|
”
|
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan
Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka
untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang
dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian
mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan
resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan
penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia,
Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara
Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para
kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para
pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam
negeri Indonesia."
Penangkapan dan pembantaian
Dalam bulan-bulan
setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang
dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang
diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau
dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi.
Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah
(bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember).
Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan
yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut
dua sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang
menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu
oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti
barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan
massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai
Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di
tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965,
antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah
menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp
konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer
yang didukung dana CIA
menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan
pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan
itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan
persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembap
membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada
kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat.
Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu
dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di
permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku
pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine
Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke
dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para
petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah
hangus.
Di daerah-daerah
lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan
kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis
"anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai
pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian
kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit
250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi.
Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik
pada akhir 1969.
Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak
tahun 1980-an.
Empat tapol, Johannes Surono
Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir
25 tahun sejak kudeta itu.
Supersemar
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI
terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit,
yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November,
tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
2.2 Pengertian orde baru
Orde baru adalah
sebutan bagi masa pemerintahn presiden soeharto di indonesia.orde baru
menggantikan orde lama yang merujuk kepada era pemerintahan soekarno. Orde baru
berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998 dalam jangka waktu tersebut
perkembangan ekonomi indonesia berkembang pesat walaupun pada saat itu terjadi
persamaan praktek korupsi yang merajalela dinegara ini. Sebagai masa yang
menandai sebuah masa baru setelah pemberontakan PKI tahun 1965.
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam
dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan
dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia
menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan
bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota
PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia
diterima pertama kalinya.
Orde
baru lahir sebagai upaya untuk :
a. Mengoreksi
total penyimpangan yang dilakukan pada masa orde lama.
b. Penataan
kembali seluruh aspek kehidupan rakyat,bangsa,dan negara indonesia.
c. Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
d. Menyusun
kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat
proses pembangunan bangsa.
Latar
belakang lahirnya orde baru antara lain :
a. Terjadinya
peristiwa gerakan 30 september 1965.
b. Keadaan
politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa gerakan 30 september
1965 dan ditambahnya dengan adanya konflik di angkatan darat yang sudah
berlangsung lama.
c. Keadaan
perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya
pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga barang bakar
menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
d. Reaksi
keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan
besar-besaran yang dilakukan oleh PKI.rakyat melakukan demokrasi menuntut agar
PKI beserta organisasi masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya di adili.
e. Kesatuan
aksi (KAMI,KAPI,KPPI,KASI dsb) yang ada dimasyarkat akan bergabung membentuk
kesatuan aksiberupa “Front Pancasila” yang selnjutnya lebih dikenal dengan
“angkata 66” untuk menghancurkan tokoh yang terlibat dalam gerakan 30 september
1965.
f. Kesatuan
aksi “front pancasila” pada 10 januari 1966 didepan gedung DPR-GR mengjukan
tuntutan yang dikenal dengan TRITURA (tri tuntutan rakyat) yang berisi :
1. Pembubaran
PKI beserta orgamisasi masanya.
2. Pemebrsihan
kabinet dwikora.
3. Penuruna
harga-harga barang.
g. Upaya
reshuffle kabinet dwikora pada 21februari 1966 dan pembentuk kabinet seratus
menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap kabinet tersebut
duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa gerakan 30 september 1965.
h. Wibawa
dan kekuasaan presiden soekarno semakin menurun setelah upaya mengadili
tokoh-tokoh yang terlibat dalam gerakan 30 september 1965 tidak berhasil
dilakukan meskipun telah dibentuk mahkamah militer luar biasa (mahmilub).
i. Sidang
paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang
bergejolak tak juga berhasil.maka presiden mengeluarkan surat pemerintah 11
maret 1966 (supersemar) yang ditunjukan bagi letjen soeharto guna mengambil
langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan keadaan negara yang semakin
kacau dan sulit dikendalikan.
Presiden soeharto memulai orde baru dalam dunia politik
indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri
dari jalan yang ditempuh soekarno sampai akhir jabatannya. Orde baru memilih
perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh
kebijaksanaannya melalui struktur administratifnya yang didominasi militer,DPR,
dan MPR tidak berfungsi efektif. Anggotanya juga seringkali dipilih dari
kalangan militer khususnya mereka yang dekat dengan cendana.dan hal ini
mengakibatkan aspirasi rakyat kurang di dengar pusat.
Jenderal Soeharto sebagai pemimpin
utama orde baru yang menjabat ketua presidium kabinet ampera, pada tanggal 19
april 1969 telah memberikan uraian mengenai hakekat orde baru yaitu sebagai
berikut “orde baru adalah tatanan seluruh perkehidupan rakyat, bangsa dan
negara republik indonesia yang diletakkan kepada kemurnian pelaksaan pancasila
dan undang-undang dasar 1945.
Dilihat
dari proses lahirnya cita-cita mewujudkan orde baru itu merupakan suatu reaksi
dan koreksi prinsipiil terhadap praktek-praktek penyelewengan yang telah
terjadi pada pada waktu-waktu yang lampau yang disebut dengan orde lama. Orde baru hadir dengan semangat “koreksi total” atas
penyimpangan yang dilakukan oleh soekarno pada masa orde lama. Jadi oleh karena
itu pengertian orde baru yang terpenting ialah suatu orde yang mempunyai sikap
dan tekat mental dan iktikad baik yang mendalam untuk mengabdi kepada
rakyat,mengabdi kepada kepentingan nasional yang dilandasi oleh falsafah
pancasila dan yang menjunjung tinggi azas dan sendi undang-undang dasar 1945.
Landasan-landasan
orde baru antara lain :
a. Landasan
idiil
Falsafah dan ideologi
negara pancasila
b. Landasan
konstitusional
Undang-undang dasar
1945 dan adapun landasan situasional adalah landasan-landasan yang dipakai
sampai terbentuknya pemerintahan baru sesudah pemilihan umum.sedangkan aspek
positif orde baru yang harus diperkuat dan diperkembangkan adalah :
1. aspek
idiil
orde baru adalah satu
tatanan seluruh perikehidupan kita,baik yang menjangkau kehidupan kita sebagai
individu dalam masyarakat dengan negara maupun antar bangsa-bangsa yang dijiwai
oleh falsafah pancasila dan undang-undang dasar 1945 baik dalam landasan haluan
maupun gerakan dinamikanya.
2. Aspek
mental psykhologis
Orde baru adalah paduan
jiwa,semangat dan dinamika yang bersifat idealistis dan pragmatis
religius.idealistis dalam arti kita denganpenuh kesadaran dan keyakinan
memegang teguh cita-cita nasional serta mampu memperjuangkannya sekuat
tenaga.realistis dalam arti bahwa dalam rangka mencapai tujuan,tiap-tiap
kebijkasanaan,langkah dan tindakan selalu memperhitungkan situasi dan
kondisi,ruang dan waktu untuk mencapai hasil optimal.pragmatis dalam arti bahwa
setiap usaha dan kegiatan harus dapat memberikan manfaat dan kegunaannya bagi
rakyat,bangsa dan negara sebesar-besarnya.
3. Aspek
structuril-proseduril
Orde baru adalah satu
tata susunan masyarakat dan negara yang stabil,dinamis dan demokratis,baik di
bidang politik,sosial maupun ekonomi dengan kepemimpinan berdasarkan
kelembagaan yang kuat dan bijaksana yang menjamin gerak masyarakat yang
tertib,teratur,maju dan tepat.
4. Aspek
hukum
Orde baru adalah satu
tertib masyarakat dan negara berdasarkan hukum dimana terdapat keseimbangan
antara kepentingan individu dan masyarakat dan dimana warga negara maupun
penguasa tunduk kepada ketentuan hukum yang berlaku.
5. Aspek
dinamika
Orde baru adalah
dinamika gerak masyarkat yang cepat,teratur,terarah,terkoordinasi menuju
sasaran-sasaran yang telah di tetapkan.
2.3 Koreksi Orde Baru Terhadap Orde Lama
Orde Lama
Pada era Orde Lama, masa
pemerintahan presiden Soekarno antara tahun 1959-1967, pembangunan dicanangkan
oleh MPR Sementara (MPRS) yang menetapkan sedikitnya tiga ketetapan yang
menjadi dasar perencanaan nasional:
a) TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang
Manifesto Politik republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara
b) TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang
Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969,
c) Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963
tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan
Pembangunan.
Dengan dasar perencanaan tersebut
membuka peluang dalam melakukan pembangunan Indonesia yang diawali dengan babak
baru dalam mencipatakan iklim Indonesia yang lebih kondusip, damai, dan
sejahtera. Proses mengrehablitasi dan merekontruksi yang di amanatkan oleh MPRS
ini diutamakan dalam melakukan perubahan perekonomian untuk mendorong
pembangunan nasional yang telah didera oleh kemiskinan dan kerugian pasca
penjajahan Belanda.
Pada tahun 1947 Perencanaan
pembangunan di Indonesia diawali dengan lahirnya “Panitia Pemikir Siasat
Ekonomi”. Perencanaan pembangunan 1947 ini masih mengutamakan bidang ekonomi
mengingat urgensi yang ada pada waktu itu (meskipun di dalamnya tidak mengabaikan
sama sekali masalah-masalah nonekonomi khususnya masalah sosial-ekonomi,
masalah perburuhan, aset Hindia Belanda, prasarana dan lain lain yang berkaitan
dengan kesejahteraan sosial). Tanpa perencanaan semacam itu maka cita-cita
utama untuk “merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional” tidak akan
dengan sendirinya dapat terwujud. Apalagi jika tidak diperkuat oleh
Undang-Undang yang baku pada masa itu. Sekitar tahun 1960 sampai 1965
proses sistem perencanaan pembangunan mulai tersndat-sendat dengan kondisi
politik yang masih sangat labil telah menyebabkan tidak cukupnya perhatian
diberikan pada upaya pembangunan untuk memperbaiki kesejahtraan rakyat.
Pada masa ini perekonomian Indonesia
berada pada titik yang paling suram. Persediaan beras menipis sementara
pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengimpor beras serta memenuhi
kebutuhan pokok lainnya. Harga barang membubung tinggi, yang tercermin dari
laju inflasi yang samapai 650 persen ditahun 1966. keadaan plitik tidak menentu
dan terus menerus bergejolak sehingga proses pembangunan Indonesia kembali
terabaikan sampai akhirnya muncul gerakan pemberontak G-30-S/PKI, dan berakir
dengan tumbangnya kekuasaan presiden Soekarno.
Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa
pemerintahan Presiden Soeharto
di Indonesia.
Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk
kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat
"koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada
masa Orde Lama. Orde Baru berlangsung
dari tahun 1966
hingga 1998.
Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia
berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi
yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya
dan miskin juga semakin melebar. Pada
1968, MPR secara resmi melantik
Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik
kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden
Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara
dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang
ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan
Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September
1966 mengumumkan bahwa
Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota
PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun
setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap
awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru.
Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan
terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal
dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer
Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto
sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat
"dibuang" ke Pulau Buru.
Orde
baru lahir sebagai upaya untuk :
a) Mengoreksi
total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama.
b) Penataan
kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.
c) Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
d) Menyusun
kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat
proses pembangunan bangsa.
Latar belakang lahirnya
Orde Baru :
a) Terjadinya
peristiwa Gerakan 30 September 1965.
b) Keadaan
politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30 September
1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung lama.
c) Keadaan
perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya
pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar
menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
d) Reaksi
keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan
besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut
agar PKI berserta Organisasi Masanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili.
e) Kesatuan
aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung membentuk
Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya lebih dikenal dengan
“Angkatan 66” untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September
1965.
f) Kesatuan
Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR mengajukan
Perbandingan Politik
Orde Lama dengan Politik Orde Baru
Selama hampir 57 tahun sebagai
bangsa merdeka kita dihadapkan pada panggung sejarah perpolitikan dan
ketatanegaraan dengan dekorasi, setting, aktor, maupun cerita yang
berbeda-beda. Setiap pentas sejarah cenderung bersifat ekslusif dan Steriotipe.
Karena kekhasannya tersebut maka kepada setiap pentas sejarah yang terjadi
dilekatkan suatu atribut demarkatif, seperti ORDE LAMA, ORDE BARU dan kini ORDE
REFORMASI.
Karena esklusifitas tersebut maka
sering terjadi pandangan dan pemikiran yang bersifat apologetik dan keliru
bahwa masing-masing Orde merefleksikan tatanan perpolitikan dan ketatanegaraan
yang sama sekali berbeda dari Orde sebelumnya dan tidak ada ikatan historis
sama sekali
Orde Baru lahir karena adanya Orde
Lama, dan Orde Baru sendiri haruslah diyakini sebagai sebuah panorama bagi
kemunculan Orde Reformasi. Dari perspektif ini maka dapat dikatakan bahwa Orde
Lama telah memberikan landasan kebangsaan bagi perkembangan bangsa Indonesia.
Sementara itu Orde Baru telah banyak memberikan pertumbuhan wacana normatif
bagi pemantapan ideologi nasional, terutama melalui konvergensi nilai-nilai
sosial-budaya (Madjid,1998) Orde Reformasi sendiri walaupun dapat dikatakan
masih dalam proses pencarian bentuk, namun telah menancapakan satu tekad yang
berguna bagi penumbuhan nilai demokrasi dan keadilan melalui upaya penegakan
supremasi hukum dan HAM. Nilai-nilai tersebut akan terus di Justifikasi dan
diadaptasikan dengan dinamika yang terjadi.
Dalam arti ini, apa yang disuarakan
Soekarno tentang ‘negara kebangsaan’ di tahun 1945 tidak berbeda jauh dengan
konsep ‘pembangunan bangsa’ yang digelorakan orde baru hingga (orde) reformasi
sekarang ini. Karena itu benar bahwa pembangunan yang digiatkan dalam orde
reformasi dan selama orde baru merupakan mata rantai dari perjuangan menuju
pintu gerbang kemerdekaan yang digelorakan Soekarno ketika bersama para pemuda
menyatakan kemerdekaan bangsa ini. Perjuangan menuju pintu gerbang ini bertali
temali dengan landasan persatuan yang ditonggaki Budi Utomo. Seterusnya semangat
Budi Utomo ini ditiupi oleh nafas yang ada dalam dada para pahlawan yang
menentang penjajah.
Masing-masing era, kurun waktu,
orde, karena itu, tidak terlepas satu sama lain dan saling mengeksklusifkan.
Setiap orde, kurun, waktu, masa itu kerap diterima sebagai babak baru yang
lahir sebagai reaksi sekaligus koreksi terhadap orde sebelumnya. Semangat Budi
Utomo digelorakan kembali oleh Soekarno melalui proklamasi kemerdekaan dan orde
lama. Berjalan di luar rel, orde lama kemudian diganti dengan orde baru. Kendati
banyak ketimpangan, harus diakui bahwa orde lama merupakan anak zaman pada
masanya.
Tesis politik yang dicetuskan orde
baru di awal kelahirannya sangat jelas, yakni demokratisasi politik di samping
perbaikan ekonomi. Tesis inilah yang meromantisasikan perlawanan sosial
menentang sistem politik yang tidak demokratis dan sistem ekonomi yang
hancur-hancuran di zaman orde lama. Gilang gemilang hasil pembangunan orde baru
memang sungguh menakjubkan. Masyarakat di bawah orde baru telah berkembang
sangat pesat. Namun harus diterima bahwa perkembangan itu adalah perkembangan
elitis dalam sistem politik yang tunggal dan monolitik. Pilihan model
pembangunan yang bercorak teknokratis yang secara sengaja memperlemah kekuatan
politik non negara untuk menghindari bargaining politik kemudian melahirkan
begitu banyak ketimpangan dalam orde baru. Karena itulah ketika desakan arus
bawah semakin kuat dan dengan didorong hasrat mau maju, orde baru kemudian
ditentang. Orde yang berjalan lebih dari tiga dasawarsa ini kemudian tumbang
dan lahirlah orde yang lebih lazim disebut sebagai (orde) reformasi.
Orde
Baru Sebagai Antitesa Orde lama
Politik Luar Negeri Orba merupakan
Antitesa dari politik luar negeri orde lama. Kebijakan yang diambil baik di bidang politik dan ekonomi berbeda
jauh dengan orde lama. Sifat bebas-aktif adalah konsep yang interpretatif.
Sifat politik luar negeri orba yang bebas-aktif merupakan penafsiran yang
berbeda dari orde lama. Ada tiga variabel penjabaran dari kepentingan nasional
orde baru, yaitu perbaikan ekonomi, normalisasi hubungan dengan barat, dan
revitalisasi organisasi regional.
Politik luar negeri orba muncul
sebagai lawan dari politik luar negeri orde lama yang bersifat lebih
revolusioner dan menjadikan nasionalisme sebagai alat kesatuan bangsa. Politik
luar negeri yang nasionalistik menjadikan Indoensia terus menaruh kecurigaan
pada barat. Sifat yang dianut oleh orde lama adalah bebas aktif, namun pada
demokrasi terpimpin yang terjadi adalah koalisi tidak resmi Indonesia dengan
negara-negara blok timur seperti RRT dan Uni Sovyet.
Orde lama dimulai ketika Soekarno
menyatakan dekrit 1959 yang memberlakukan UUD 1945 dan meninggalkan UUD RIS.
Dalam sikap politiknya, Soekarno sangat dekat dengan Partai Komunis Indonesia
(PKI). Hal ini menjadi nyata, ketika Soekarno menyampaikan pidato manifesto
politik (manipol) yang mengidentifikasikan musuh nasional yaitu imperialis
barat. Kedekatan kepada blok timur pun semakin nyata setelah Indonesia mendapat
bantuan militer dari Uni Sovyet untuk pembebasan Irian Barat. Hubungan
Indonesia dengan Barat semakin menjauh setelah Soekarno membentuk New Emerging Forces (Nefos) dan Old Established Forces (Oldefos).
Soekarno mengelompokkan negara-negara komunis dan sebagian negara Asia-Afrika
di Nefos sebagai lawan dari barat yang dimasukkannya dalam Oldefos. Ditambah
lagi dengan aksi konfrontasi ganyang Malaysia, keluarnya Indonesia dari
keanggotaan PBB, dan menyelenggarakan konferensi anti imperialis Conefo (Conference of New Emerging Forces).
Namun disaat politik luar negeri
Indonesia yang sangat hiper-aktif dan militan, kondisi perekonomian dan politik
dalam negeri terjadi sebaliknya. Perekonomian hancur, harga-harga melambung tak
terkendali, kemiskinan tidak bisa diatas pemerintah, hiper-inflasi terjadi
dimana-mana. Pemerintah orde lama yang pada saat itu sedang menghabiskan
anggaran negara untuk membiayai konfrontasi ganyang malaysia dan penyeleseian
proyek mercusuar, tidak berkutik dan tidak mampu mengatasi itu semua. Kondisi
politik dalam negeri pun tidak berbeda. Konflik politik antara militer dan PKI
terlihat semakin meruncing. Puncaknya yang terjadi dengan meletusnaya peristiwa
Gerakan 30 September 1965. Peristiwa itu membuat pemerintah Soekarno semakin
lemah. Setelah
kejadian G 30 S, pemerintah Soekarno menjadi lemah. Kudeta merangkak yang
dilakukan oleh Jenderal Soeharto semakin membuat kekuasaan Soekarno lemah.
Puncaknya, MPRS menetepkan Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden pada
tahun 1968. Pada saat inilah yang menjadi akhir dari orde lama dan menjadi awal
orde baru.
Pemerintah Orde baru memperbaiki
politik luar negeri yang revolusioner pada era orde lama, menjadi lebih ramah
dan aktif di dunia internasional. Hal yang pertama dilakukan adalah memperbaiki
dan me-normalisasi hubungan diplomatik dengan Malaysia. Hal yang juga dilakukan
oleh pemerintah orba adalah pembentukan organisasi di tingkat regional Asia
Tenggara. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga stabilitas kawasan dan menjadi
wadah kerjasama antara negara-negara Asia Tenggara. Indonesia menjadi salah
satu pendiri Organisasi Regional Asia Tenggara (ASEAN) dari lima negara yang
ikut mendirikan di Bangkok pada 1967.
Dalam hal perekonomian dan hubungan
dengan barat pemerintah orba pun memperbaiki hubungannya tersebut. Hal ini berkaitan
langsung dengan perekonomian dan pembangunan yang dicanangkan pemerintah orba.
Pemerintah orba membutuhkan banyak dana untuk melaksanakan pembangunan. Untuk
itu, pemerintah mengadakan pertemuan dengan negara-negara donor untuk
membicarakan adanya utang untuk pembangunan. Negara-negara tersebut kemudian
membentuk sebuah forum bernama Inter-govermental Group On Indonesia (IGGI).
Selain itu, pemerintah pun membuat UU investasi yang mempermudah investasi
asing masuk ke dalam negeri.
Namun hal itu pun membuat
konsekuensi logis terhadap hasil politik luar negeri yang dibangun oleh orde
lama seperti forum-forum Gerakan Non-Blok (GNB) dan konferensi Asia-Afrika.
Pasa masa orba, negara-negara GNB menolak Indonesia mengetuai GNB karena
dianggap sebagai pro-barat. Selain itu, invasi Indonesia terhadap Timor-Timur
pun memicu ketidaksukaan terhadap pemerintah orba.
2.4 Pengertian Demokrasi Pancasila
Istilah
“demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad
ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah
sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah
ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi
sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak
negara.
Kata “demokrasi”
berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang
berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat,
atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam
bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini
disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Secara ringkas,
demokrasi Pancasila memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:
· Demokrasi
Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang
ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran
religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur,
berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan.
· Dalam
demokrasi Pancasila, sistem pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat
sendiri atau dengan persetujuan rakyat.
· Dalam
demokrasi Pancasila kebebasan individu tidak bersifat mutlak, tetapi harus
diselaraskan dengan tanggung jawab sosial.
· Dalam
demokrasi Pancasila, keuniversalan cita-cita demokrasi dipadukan dengan
cita-cita hidup bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan,
sehingga tidak ada dominasi mayoritas atau minoritas.
Prinsip
Pokok Demokrasi Pancasila
Prinsip
merupakan kebenaran yang pokok/dasar orang berfikir, bertindak dan lain
sebagainya. Dalam menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara umum, terdapat 2
landasan pokok yang menjadi dasar yang merupakan syarat mutlak untuk harus
diketahui oleh setiap orang yang menjadi pemimpin
negara/rakyat/masyarakat/organisasi/partai/keluarga, yaitu:
· Suatu
negara itu adalah milik seluruh rakyatnya, jadi bukan milik perorangan atau
milik suatu keluarga/kelompok/golongan/partai, dan bukan pula milik penguasa
negara.
· Siapapun
yang menjadi pemegang kekuasaan negara, prinsipnya adalah selaku pengurusa
rakyat, yaitu harus bisa bersikap dan bertindak adil terhadap seluruh
rakyatnya, dan sekaligus selaku pelayana rakyat, yaitu tidak boleh/bisa
bertindak zalim terhadap tuannyaa, yakni rakyat.
Adapun prinsip pokok demokrasi
Pancasila adalah sebagai berikut:
1.
Pemerintahan
berdasarkan hukum: dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan:
a.
Indonesia ialah negara
berdasarkan hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka
(machtstaat),
b.
Pemerintah berdasar
atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan
tidak terbatas),
c.
Kekuasaan yang
tertinggi berada di tangan MPR.
2.
Perlindungan terhadap
hak asasi manusia,
3.
Pengambilan keputusan
atas dasar musyawarah,
4.
Peradilan yang merdeka
berarti badan peradilan (kehakiman) merupakan badan yang merdeka, artinya
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain contoh Presiden,
BPK, DPR, DPA atau lainnya,
5.
adanya partai politik
dan organisasi sosial politik karena berfungsi Untuk menyalurkan aspirasi
rakyat,
6.
Pelaksanaan Pemilihan
Umum;
7.
Kedaulatan adalah
ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR (pasal 1 ayat 2 UUD 1945),
8.
Keseimbangan antara hak
dan kewajiban,
9.
Pelaksanaan kebebasan
yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan YME, diri sendiri, masyarakat,
dan negara ataupun orang lain,
10. Menjunjung
tinggi tujuan dan cita-cita Nasional.
Ciri-Ciri
Demokrasi Pancasila
Menurut
Idris Israil menyebutkan ciri-ciri demokrasi Indonesia sebagai berikut:
1. Kedaulatan ada di tangan rakyat.
2. Selalu berdasarkan kekeluargaan
dan gotong-royong.
3. Cara pengambilan keputusan
melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
4. Tidak kenal adanya partai
pemerintahan dan partai oposisi.
5. Diakui adanya keselarasan antara
hak dan kewajiban.
6. Menghargai hak asasi manusia.
7. Ketidaksetujuan terhadap
kebijaksanaan pemerintah dinyatakan dan disalurkan melalui wakil-wakil rakyat.
Tidak menghendaki adanya demonstrasi dan pemogokan karena merugikan semua
pihak.
8. Tidak menganut sistem
monopartai.
9. Pemilu dilaksanakan secara
luber.
10. Mengandung sistem mengambang.
11. Tidak kenal adanya diktator
mayoritas dan tirani minoritas.
12. Mendahulukan kepentingan rakyat
atau kepentingan umum.
Sistem
Pemerintahan Demokrasi Pancasila
Landasan formil
dari periode Republik Indonesia III ialah Pancasila, UUD 45 serta
Ketetapan-ketetapan MPRS. Sedangkan sistem pemerintahan demokrasi Pancasila
menurut prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Batang Tubuh UUD 1945
berdasarkan tujuh sendi pokok, yaitu sebagai berikut:
1. Indonesia ialah negara yang
berdasarkan hukum
Negara Indonesia
berdasarkan hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(Machsstaat). Hal ini mengandung arti bahwa baik pemerintah maupun
lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan apapun harus
dilandasi oleh hukum dan tindakannya bagi rakyat harus ada landasan hukumnya.
Persamaan kedudukan dalam hukum bagi semua warga negara harus tercermin di
dalamnya.
2. Indonesia menganut sistem
konstitusional
Pemerintah
berdasarkan sistem konstitusional (hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan yang mutlak tidak terbatas). Sistem konstitusional ini lebih
menegaskan bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dikendalikan atau
dibatasi oleh ketentuan konstitusi, di samping oleh ketentuan-ketentuan hukum
lainnya yang merupakan pokok konstitusional, seperti TAP MPR dan Undang-undang.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi
Seperti telah
disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 pada halaman terdahulu, bahwa
(kekuasaan negara tertinggi) ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh
MPR. Dengan demikian, MPR adalah lembaga negara tertinggi sebagai penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi MPR
mempunyai tugas pokok, yaitu:
a. Menetapkan UUD;
b. Menetapkan GBHN; dan
c. Memilih dan mengangkat presiden
dan wakil presiden
Wewenang MPR, yaitu:
a. Membuat putusan-putusan yang
tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara lain, seperti penetapan GBHN yang
pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden;
b. Meminta pertanggungjawaban
presiden/mandataris mengenai pelaksanaan GBHN;
c. Melaksanakan pemilihan dan
selanjutnya mengangkat Presiden dan Wakil Presiden;
d. Mencabut mandat dan
memberhentikan presiden dalam masa jabatannya apabila presiden/mandataris
sungguh-sungguh melanggar haluan negara dan UUD;
e. Mengubah undang-undang.
4. Presiden adalah penyelenggaraan
pemerintah yang tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Di bawah MPR,
presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi. Presiden selain
diangkat oleh majelis juga harus tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis.
Presiden adalah Mandataris MPR yang wajib menjalankan putusan-putusan MPR.
5. Pengawasan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR)
Presiden tidak
bertanggung jawab kepada DPR, tetapi DPR mengawasi pelaksanaan mandat
(kekuasaan pemerintah) yang dipegang oleh presiden dan DPR harus saling bekerja
sama dalam pembentukan undang-undang termasuk APBN. Untuk mengesahkan
undang-undang, presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Hak DPR di bidang
legislative ialah hak inisiatif, hak amandemen, dan hak budget.
Hak DPR di bidang pengawasan meliputi:
a. Hak tanya/bertanya kepada
pemerintah;
b. Hak interpelasi, yaitu meminta
penjelasan atau keterangan kepada pemerintah;
c. Hak Mosi (percaya/tidak percaya)
kepada pemerintah;
d. Hak Angket, yaitu hak untuk
menyelidiki sesuatu hal;
e. Hak Petisi, yaitu hak mengajukan
usul/saran kepada pemerintah.
6. Menteri Negara adalah pembantu
presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR
Presiden
memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan menteri negara. Menteri
ini tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi kepada presiden. Berdasarkan hal
tersebut, berarti sistem kabinet kita adalah kabinet kepresidenan/presidensil.
Kedudukan
Menteri Negara bertanggung jawab kepada presiden, tetapi mereka bukan pegawai
tinggi biasa, menteri ini menjalankan kekuasaan pemerintah dalam prakteknya
berada di bawah koordinasi presiden.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak
tak terbatas
Kepala Negara tidak bertanggung
jawab kepada DPR, tetapi ia bukan diktator, artinya kekuasaan tidak tak terbatas.
Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. Kedudukan DPR kuat karena
tidak dapat dibubarkan oleh presiden dan semua anggota DPR merangkap menjadi
anggota MPR. DPR sejajar dengan presiden.
Fungsi Demokrasi
Pancasila
Adapun fungsi demokrasi Pancasila
adalah sebagai berikut:
1. Menjamin adanya keikutsertaan
rakyat dalam kehidupan bernegara
Contohnya:
a. Ikut menyukseskan Pemilu;
a. Ikut menyukseskan Pemilu;
b. Ikut menyukseskan Pembangunan;
c. Ikut duduk dalam badan
perwakilan/permusyawaratan.
2. Menjamin tetap tegaknya negara
RI,
3. Menjamin tetap tegaknya negara
kesatuan RI yang mempergunakan sistem konstitusional,
4. Menjamin tetap tegaknya hukum yang bersumber pada Pancasila,
4. Menjamin tetap tegaknya hukum yang bersumber pada Pancasila,
5. Menjamin adanya hubungan yang
selaras, serasi dan seimbang antara lembaga negara,
6. Menjamin adanya pemerintahan yang bertanggung jawab,
6. Menjamin adanya pemerintahan yang bertanggung jawab,
Contohnya:
a. Presiden adalah Mandataris MPR,
a. Presiden adalah Mandataris MPR,
b. Presiden bertanggung
jawab kepada MPR.
2.5 Pelaksanakan
Pemilu pada Orde Baru
Pelaksanaan pemilu pada
masa orde baru
Pemilu
dilakukan setiap lima tahn sekali untuk memilih anggota legislatif dan Presiden
serta Wakil Presiden. Masyarakat bebas memilih partai yang disukainya yang ikut
dalam pemilu. Pada masa itu masyarakat hanyalah memilih partai. Anggota
legislatif ditentukan oleh pemerintah yang berkuasa (Soeharto) berdasarkan
daftar yang diajukan oleh panitia yang ditunjuk oleh presiden. Pada masa itu,
panitia yang bertugas mencari calon anggota legislatif ialah militer di setiap
daerah. Daftar nama calon itu kemudian diserahkan kepada presiden.
Biasanya
setiap masa pemilihan, presiden selalu menyeleksi anggota legislatif tersebut.
Ketika itu Presiden Soeharto dalam menentukan anggota legislatif melihat semua
golongan dan suku (meskipun tidak semua suku terwakili). Artinya anggota
legislatif harus sudah mewakili semua golongan masyarakat. Misalnya golongan
petani, buruh, cendikiawan, budayawan, dan lain sebagainya. Selain itu,
Presiden Soeharto juga melihat suku. Angota legislatif selalu diupayakan
mewakili semua suku yang ada di Indonesia, meskipun selalu diodominasi oleh
suku jawa dan militer.
Untuk
pemilihan presiden dilakukan oleh anggota DPR dan MPR. Anggota DPR dan MPR yang
telah terpilihlah yang kemudian akan memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Anggota DPR dan MPR yang awalnya dipilih oleh panitia (namun sekehendak
presiden) merasa behutang budi kepada Presiden Soeharto. Hal tersebut
menyebabkan anggota DPR dan MPR membalas budi dengan menetapkan Soeharto
kembali menjadi Presiden. Sehingga selama orde baru Presiden dijabat oleh
Soeharto dan sistem pemilihan brlangsung seperti itu selama 32 tahun masa orde
baru.
berikutnya
dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini
diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini
seringkali disebut dengan Pemilu Orde Baru. Sesuai peraturan
Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai
politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan
oleh Golongan Karya.
Pemilu-Pemilu Berikut adalah
tanggal-tanggal diadakannya pemungutan suara pada Pemilu periode ini.
a.
2 Mei 1977
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
1977 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 2 Mei 1977 untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya)
se-Indonesia periode 1977-1982.
Pemilihan
Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan
(PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai pemenang mayoritas hasil
pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.
b.
4
Mei 1982
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
1982 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982 untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya)
se-Indonesia periode 1982-1987.
Pemilihan
Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan
(PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai
pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan
Karya.
c.
23
April 1987
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
1987 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 23 April 1987 untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya)
se-Indonesia periode 1987-1992.
Pemilihan
Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan
(PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai
pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan
Karya.
d.
9 Juni 1992
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
1992 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 9 Juni 1992 untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya)
se-Indonesia periode 1992-1997.
Pemilihan
Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan
(PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai
pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan
Karya.
e.
29 Mei 1997
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
1997 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 29 Mei 1997 untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya)
se-Indonesia periode 1997-2002. Pemilihan Umum ini merupakan yang terakhir kali
diselenggarakan pada masa Orde Baru.
Pemilihan
Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan
(PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan
Karya. Pemilu ini diwarnai oleh aksi golput oleh Megawati Soekarnoputri,
yang tersingkir sebagai Ketua Umum PDI yang tidak diakui rezim pemerintah waktu
itu
2.6 Kehidupan
Sosial, Politik, dan Ekonomi pada Orde Baru
“
APA yang menarik dari peristiwa politik? Palimg-paling Golkar menang terus,
dwifungsi ABRI makin marak, dan di atas segala-galanya kedudukan Soeharto
bertambah kuat. Peristiwa social? Saya mungkin bias bercerita tentang gedung mewah
dan lapangan golf yang bertambah banyak, tetapi petani menangis kehilangan
tanah rapan, jaringan sekolah semakin luas, tetapi mutu memperhatinkan, jenis
dan jumlah pabrik bertambah, tetapi kehidupan buruk serba tak pasti, daerah
kaya dieksploitasi, tetapi tak mendapat bagian seimbang. Atau, mungkin juga
tentang nasib penerbitan yang di tentukan oleh sebuah tanda tangan menteri.
Tapi, bukanlah semuanya bias dilebur oleh kestabilan politik dan pertumbuhan
ekonomi?
Kutipan
yang diutarakan oleh sejarawan Dr Taufik Abdullah di atas, cukup menggambarkan,
pada akhirnya begitulah kondisi Orde Baru. Dengan berlindung di balik
kestabilan politik dan pertumbuhan ekonomi, sejarah politik Orede Baru
mencatatkan peristiwa-peristiwa historis, Golkar menang terus, dwifungsi ABRI
makin marak, dan diatas segala-galanya kedudukan Soeharto bertambah kuat.
Peristiwa ditandai dengan munculnya gedung-gedung mewah dan lapangan golf yang bertambah banyak, tetapi (ironisnya)
petani menangis kehilangan tanah garapan. Jaringan sekolah-semakin luas, tetapi
mutu memprihatinkan. Jenis dan jumlah pabrik bertambah, tetapi kehidupan buruh
serba tak pasti. Daerah kaya dieksplotasi, tetapi tak mendapatkan bagian
seimbang. Ataupun, nasib penerbitan ditentukan oleh sebuah tanda tangan menteri.
Semua itu, barangkali akan hanya menjadi tinggal kenangan, bila era reformasi
yang ki I bergulir betul-betul menjadi amanaat reformasi dengan baik.
Pada
mulanya, tatkala Orde Baru muncul gairah
baru dalam berbangsa dan bernegara yang disertai rasa optimis dalam
menatap masa depan pun turut tumbuh. Betapa tidak, Orde Baru tampak lebih
menjajikan ketimbang era Orde Lama. Konflik social dan politik dalam masyarakat
era Orde Lama, nyatanya nyaris membuat bangsa Indonesia jatuh kelembah kehancuran lewat pemberontakan G30S/PKI. Orde
Lama, lantas dinyatakan gagal baik dalam kerangka paradigma pembangunan yang dikembangkannya dimana politik ialah
panglima, maupun realitas lapangan yang dihadapi. Setidaknya terdapat dua kekurangan
pokok yang terjadi pada system politik Orde Lama, yakni
1. Tidak
mampu melaksanakan pembangunan ekonomui, dan
2. Gagal
menciptakan kestabilan politik
Terlepas dari bias sejarah Orde
Baru lahir dari tekad untuk melakukan koreksi total atas kekurangan system
politik sebelumnya. Kerangka dasar dan semangatnya adalah guna “ melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen”. Definisi Orde Baru,
sebagaiman dihafal anak-anak sekolah, senantiassa bermuara pada petikan kalimat
diatas. Berpijak pada penilaian bahwa Orde Lama tidak mampu melaksanakan bahkan
menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945, maka rezim Orde Baru perlu merumuskan
sebuah komitmen atau tekad secara jelas: hendak melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekuen.
Tapi, perlu dicatat secara
obyektif, bahwa Orde Baru pernah mencatatkan keberhasilan dibidang ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga sebelum krisis moneter mencatatkan
rata-ratanya sebesar 6-7% per tahun. Indonesia bersama-sama Negara Asia
Tenggara lain, turut menikmati dampak Asean Miracle atau keajaiban Asia dalam
konteks pertumbuhan ekonomi dikawasan Asia-Pasifik. Pendapatan perkapita pun
turut meningkat, hingga 1.300 US$. Inflasi mampu ditekan hingga tidak melibihi
dua digit. Pembangunan infrastruktur perekonomian pun menunjukkan kemajuannya.
Sarana-prasarana pembangkit perekonomian masyarakat di pedesaan pun telah diprogramkan, jalan-jalan desa dibangun
untuk memperkokoh lalu lintas ekonomi disana. Naiknya tingkat kesejahteraan
rakyat, mulai bias dirasakan ketimbang pada masa Orde Baru. Ini semua akibat
tidak langsung dari kestabilan politik di tanah air.
Era ekonomi Orde Baru tak lepas
dari kemampuan ekspor migas kita. Masih melekat dalam benak kita masa-masa oil
Boom tahun 1970-an, di mana ekspor migas merupakan andalan utama dalam anggaran
belanja nasional, karena memang sector migas menyumbang dana trbesar, baru
disusul kemudian sector non migas dan pajak. Kestabilan politik di tanah air
pun menarik para investorasing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini
taampak pesat di tahun 1990-an, sehingga decade ini tentu saja hingga sebelum
krisis moneter terjadi disebut era meminjam Mohammad Sadli, ‘boom ekonomi’.
Sebelum terjadi krisis moneter dan krisis ekonomi, yang dimulai pada bulan Juli
1997, melihat fundamental ekonomi dan pengalaman Indonesia selama Orde Baru,
nyaris tak pernah terfikirkan bahwa era krisis ekonomi bakal dialami bangsa
Indonesia.tepat, kiranya bila pemimpin-pemimpin nasional kita disebut-sebut
tidak memiliki sense of crisis, tidak peka terhadap krisis. Ini terjadi bukan
saja lantaran rendahnya daya dan kapasitas untuk melihatmasa depan, tetapi juga
disebabkan oleh kebohongan-kebohongan kolektif pada masyarakat, dengan selalu
mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia cukup kokoh.
Perlu dicatat pula bahwa keberhasilan
pembangunan Orde Baru, tak lepas pula dari bantuan untuk menghaluskan istilah
hutang luar negeri. Bantuan luar negeri ini konon dikoordinasikan oleh
Internasional Governmental Groups On Indonesia (IGGI), dan belakangan karena
keangkuhan JP Pronk yang memimpin IGGI waktu itu, Indonesia memutuskan dengan
lembaga ini, menyusul kemudian terbentuklah Consultan tive Groups On Indonesia
(CGI). Bantuan-bantuan tersebut tampak makin meningkat dari tahun ketahun dan
anehnya hal tersebut seringkali dinilai sebagai keberhasilan diplomasi ekonomi
Indonesia dimata Negara-negara donor hingga akumulasi hutang luar negeri kita
menumpuk. Era liberalisasi ekonomi tahun 1990-an telah pula menyeret kalangan
swasta untuk melakukan hutang luar negeri, yang jumlahnya belakangan diketahui
lebih besar dari hutang pemerintah.
Dalam soal hutang luar negeri ini,
Indonesia konon dikenal dengan sebutan ‘the good boys’ (anak muda yang baik)
oleh Negara-negara donor, karena rajin membayar cicilan hutang pokok dan bunga
hutangnya. Indonesia juga pantas disebut sebgai contoh Negara Negara berkembang
yang berhasil memanfaatkan hutang luar negeri, secara efisien walaupun
belakangan Bank Dunia mengakui adanya banyak kebocoran-kebocoran. Pujian the
good boys diatas jelas menyesatkan, sebab bagai manapun juga sejalan dengan
semakin menumpuknya hutang kita daripada Negara donor, maka kemandirian,
kewibawaan dan kedaulatan bangsa semakin ‘tergadaikan’.
Konsekuensi logis dari paradigma
‘ekonomi sebagai panglima’ ialah
represi-represi politik guna mewujudkan stabilitas politik nasional ‘yang
mantap dan dinamis’. Langkah-langkah yang kemudian ditempuh rezim baru sungguh
efektif guna mewujudkan stabilitas tersebut. Represi atau quasi represi
merupakan cirri menonjol, sebuah cara tentang bagaimana stabilitas itu
diciptakan.salah satu wacana menonjol yang terkait dengan fenomena ini ialah
‘depolitisasi’. Depolitisasi dilakukan secara sistematis, baik dalm konteks
politik structural-formal di mana partai-partai politik ‘dipaksa’ untuk
disederhanakan , maupun di dataran ideologi-politik. Sistem multipartai ditiadakan, oposisi politik
dibungkam.
Depolitisasi menambah segala aspek
kehidupan masyarakat Orde Baru. Dunia kampus, misalnya merupakan wilayah luar
politik-formal yang paling merasakan dampaknya. Catatan fakta sejarah masa Orde
Barumenunjukkan betapa cara-cara represif atau quasi represif amatlah efektif
untuk meredam suara-suara kritis yang datangnya daari kampus. Rezim Orde Baru
tampak selalu tidak kekurangan akal dalam meredam setiap gerakan mahasiswa yang
berkembang dikampus-kampus sehingga tidak menjadi sebuah gerakan yang massif
dan membesar esonansinya. Setiap aksi mahasiswa yang bersemangat mengkritik
Orde Baru tampak kekurangan akal, dalam
meredam setiap gerakan mahasiswa yang bersemangat mengkritik Orde Baru, nyaris
selalu disusul dengan penangkapan para tokoh-tohok geraknya. Di dunia kampus,
‘mata-mata’ rezim berkeluyuran dimana-mana, mulai dari rector sebagai
‘kepanjangan tangan’ rezim hingga intelijen-intelijen partikelir, yakni mahasiswa
yang bertugas untuk melaporkan setiap kegiatan mahasiswa yang dianggap bakal
‘membahayakan negara’.
Mitos-mitos politik diciptakan dan
dipelihara. Setiap aktivitas yang dianggap subversive terhadap Negara, kerap
dikait-kaitkan dengan tuduhan terlibat G30S/PKI. Hantu PKI dihidupkan lagi
dan terus-terusan, dan ternyata efektif
untuk menakut-nakuti masyarakat, sekaligus membuktikan betapa kekuatan Negara
tidakboleh disangkal, Negara, dengan demikian dicitrakan sebagai sosok makhluk
yang menakutkan, sebagaimana pernah dibayangkanThommas Hobbes sebagai monster
yang bernama Leviathan. Cap PKI
merupakan momok yang serius bagi masyarakat, memngingat betapa
sengsaranya bila cap tersebut dituduhkan. Di masa Orde Baru mereka yang
terlibat atau, setidaknya dianggap terlibat anggota PKI tidak memiliki hak
politik secara penuh. Mereka didiskriminasikan hingga ke anak cucu, diantaranya
tidak boleh menjadi pegawai negeri atau anggota ABRI.
Hantu lainnya adalah stempel ekstrem
kanan. Sesuatu yang berlabel, bernada dan berirama agama (islam) dicitrakan
sedemikian rupa sebagai ancaman bagi eksistensi bangsa dan Negara. Berbagai
operasi intelijen dilakukan dengan lulus (dan kasar) dan sistematis untuk
memojokkan umat islam. Hal ini secra psikologis politis amat memukul rasa
percaya diri umat islam Indonesia, sehingga ummat islam sebagian besar
cenderung untuk bersembunyi dikolong-kolong kursi kekuasaan yang otoriter itu,
dan sebagian yang mereaksinya dengan cara yang agak kasar dan ini justru
jebakan yang dikehendaki oleh kekuasaan saat itu. Penjara-penjara Orde Baru
adalah saksi yang paling jujur tentang bagaimana orang-orang islam didzalimi
setegas-tegasnya oleh kekuasaan yang menindas kita.
Piramida Politik Orde Baru Dan
Negara Otoriter Birokratik
Mengandalkan tiga kekuatan politik
demi mensukseskan tujuannya, yakni masing-masing:
1. ABRI
2. Teknokrasi,
dan
3. Golongan
Rakyat (GOLKAR).
ABRI
merupakan institusi penyangga Orde Baru, sekaligus ‘mesin’ yang efektif untuk
merobos basis-basis ‘kekuasaan sipil’. Doktrin dwifungsi ABRI-ABRI memiliki
funsi sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan (hankanm) dan politik merupakan
dar normative, yang dijadikan pembenaran bagi ABRI untuk berkiprah di wilayah
sipil. Keterlibatan ABRI di
wilayah-wilayah sipil ini, mengakibatkan profesionalismenya di bidang bidang
hankam dipertanyakan kelak. Kehadiran kaum teknokrat semasa Orde Baru,
merupakan fenomena yang menarik untuk
dikaji, mengingat perannya yang juga dominan dalam menata infra struktur
pembangunan nasional di Indonesia. Inilah yang menjadi cirri Orde Baru, peran
militer yang dominan, sebagai penjamin stabilitas politik, dan teknokratyang
terampil dalam menata ekonomi nasional, yang belakangan luluh lantak itu.
Politik Orde Baru nyaris identik
dengan politik Golkar, namun bukan Golkar yang menentukan sesuatunya, melainkan
Dewan pembinanya, yakni Presiden Soeharto. Tak heran, OPP yang selalu menang
mutlak di era Orde Baru ini, lebih tepat disebut the ruler’s party (partainya penguasa). Eksistensi politik Golkar
tak bisa lepas dari control rezim Orde Baru, dalam hal ini peran Dewan Pembina
amat menonjol itu. Kelahiran Golkar tak
lepas dari rekayasa rezim Orde Baru, dalam rangka menandingi kekuatan adeologi
komunis saat itu dibawah kendali PKI. Embrio awal Golkar, memang tak lepas dari
scenario Ankatan Darat dan ormas-ormas pendukung Orde Baru, yang kemudian
terhimpun dalam Sekretariat Bersama (SEKBER) Golkar. Tahun 1971, Golkar memenangkan pemilu pertama
kali Orde Baru lewat, apa yang kemudian dikenal sebagai “buldoser politik”
menggilas partai-partai lain dengan muda karena Golkar memang didukung tentara.
ABRI, democrat (birokrasi) dan Golkar,
hanyalah simpul-simpul power Orde Baru, yang posisinya dikendalikan secara
signifikan oleh sang pengendali utama kekuasaan presiden Soeharto. Sebab, dialah
yang secara structural merupakan panglima tertinggi ABRI, seorang presiden yang
membawahi cabinet tenokrasi dan Dewan Pembinaan Golkar. Budaya politik Orde
Baru dalam beberapa kajian, tak lepas dari budaya politik Jawa yang
dikembangkan secara tak bertanggung jawab oleh kekuasaan Soeharto.
Studi William Liddle, setidaknya
memperkuat uraian diatas. Di dalam sebuah tulisannya berjudul Soeharto’s
Indonesia: Personal Rule and Political
Institutions, Liddle menyebutkan fenomena pergeseran personal rule menjadi institusionalisasi politik dengan sebutan new order pyramid, yang dicirikan oleh
1. Dominasinya
kekuasaan kepresidenan
2. Kekuatan
militer yang aktif secara politik
3. Proses
pembuatan keputusan yang berpusat dalam birokrasi, dan pola hubungan masyarakat
Negara tang menggabungkan kooptasi dan response dengan represi.
Singkatnya, Liddle melihat bahwa
bangunan politik Orde Baru sebagai sebuah piramida, dimana pucuk kekuatan tau
kekuasaan di dalamnya didominasi presiden, di level bawahnya militer, dan
birokrasi. Negara, memiliki kekuasaan yang amat besar terhadap masyarakatnya
dalam pola-pola kooptasi dan represi.
Wacana Negara Otoriter Birokratik
(NOB) dan Negara Organis Korporatis (NOK) sebagaiman dikembangkan para pengamat
politik, sungguh tepat untuk menggambarkan kinerja system ketatanegaraan Orde
Baru. Secara ringkas, teori NOB yang dikembangkan berdasarkan pengalaman
Negara-negara di Amerika Latin oleh O’ Donnel memiliki sifat-sifat:
1. Pemerintah
dipegang oleh militer, bukan sebagai diktaktor pribadi melainkan sebagai suatu
lembaga yang berkolaborasi dengan teknokrat sipil;
2. Ia
didukung oleh entrepreneur oligolpolistik, yang bersama Negara berkolaborasi
dengan masyarakat bisnis internasional;
3.
Pengambilan keputusan
yang bersifat birokratik-teknokratik, sebagai lawan pendekatan politik dalam
pembuatan kebijaksanaan yang memerlukan proses bargaining yang lama diantaraberbagai kelompok;
4.
Massa dimobilisasikan;
5.
Untuk mengendalikan
oposisi, pemerintah melakukan tindakan-tindakan represif.
Wacana “piramida politik” Liddle dan
NOB yang popular dikalangan akademisi politik, cukup layak dalam
mengilustrasikan betapa rezim Orde Baru masih jauh dari jangkauan demokrasi
yang sesungguhnya.
Warisan-warisan
Orde Baru
Setelah berjalan 32 tahun, era Orde
Baru segera digantikan dengan era yang popular disebut reformassi. Era
reformasi ditandai dengan keberhasilan kelompok reformator yang melibatkan di
dalamnya ribuan mahasiswa dan masyarakat “menumbangkan’ rezim Soeharto. Tanggal
21 Mei 1998, tatkala Soeharto melepaskan jabatannya sebagai presiden, detik itu
pula era reformasi secara lebih serius
dimulai. Lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, dan hadirnya BJ Habibie sebagai
presiden baru, bagaimanapun merupakan fakta sejarah yang tak bias di pungkiri dari
sejarah reformasi nasional, meskipun baru pada tahapan yang amat dini.
Hanya saja yang perlu dicatat,
hadirnya era reformasi tidak berarti lantas seluruh adat kebiasaan Orde Baru
luruh seratus persen. Bau Orde Baru, nyaris masih amat menyengat. Tabiat-tabiat
yang sudah dibangun sekian lama masih sukar untuk dihilangkan begitu saja. Era
reformasi, dengan demikian bukanlah sebuah era yang lepas sama sekali dari
unsure-unsur warisan Orde Baru. Bukan hanya wajah-wajah lama yang masih dominan
menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan, tapi yang masih kental
kelihatan ialah mentalitas Orde Baru yang sukar dihilangkan.
Dalam konteks ini, Orde Baru
mewariskan beberapa pekerjaan rumah yang tidak begitu mengenakkan. Warisan yang
ditinggalkan Orde Baru, bila kita lihat, nyaris tak jauh berbeda dengan apa
yang ditinggalkan rezim Orde Lama, diantaranya krisis ekonomi, politik,
mentalitas dan hokum yang amat mencemaskan. Ditambah lagi dengan ambruknya
tatanan social, timbulnya permusuhan antar kelompok dalam masyarakat. Di bawah
ini, warisan Orde Baru Itu, akan diuraikan satu persatu.
1.
Krisis ekonomi yang
mencemaskan. Setahun sebelum Soeharto jauh (bulan Mei 1997) kondisi
perekonomian nasional masih stabil. Tidak pernah terbesit sama bahwa, krisis
ekonomi yang parah akan terjadi beberapa bulan kemudian. Krisis moneter baru
dirasakan pada bulan Juli 1997. Krisis ini semakin parah, sehingga terpaksa
Presiden Soeharto menghadirkan. IMF mau membantu dengan memberikan bantuan
terutama berupa financial. Tapi, ada syarat yang harus dipenuhi, butir-butir
reformasi ekonomi versi IMF harus dilakukan pemerintah. Sampai disini tampak
Indonesia sebagaimana disimbolisasikan oleh angkuhnya Micheal Camdessus yang
bersedekap menyaksikan Presiden Soeharto membungkuk menandatangani letter of intent, yakni butir-butir
reformasi versi IMF, berbeda dalam ‘kendali’ IMF. Belum ada formula ampuh mengakhiri krisis
ekonomi. Salah satu akibatnya, dunia investasi kita makin terpuruk
2.
Virus KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme) yang tumbuh membudaya. Konon, Orde Baru member harapan
bagi terciptanya Orde yang bersih dan demokratis. Namun, sejak awal ‘budaya’
korupsi menggejala dan semakin membesar terutama di tubuh lembaga birokrasi.
Tahun 1970-an, mahasiswa gencar melakukan demonstrasi anti korupsi. Surat
kabar-surat kabar pun gencar memberitakan kasus korupsi di Pertamina awal
1970-an. Namun, seiring dengan ‘kokohnya’ kekuatan ‘ Negara Orde Baru’,
aksi-aksi anti korupsi maupun berita-berita menyangkut KKN menghilang dari
‘peredaran’.
3.
Krisis, krisis
legitimasi politik dan problem penegakan hokum. Jatuhnya Orde Baru yang
ditandai lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, 21 Mei 1998, disusul
diangkatnya BJ Habibie menjadi presiden ‘baru’, setidaknya, menandai tamatnya
era Soeharto. Krisis legitimasi muncul tatkala masyarakat tidak lagi percaya
sepenuhnya dengan aspek terjang pemerintah, karena proses-proses legitimasi
politik Orde Baru selalu ‘bermasalah’. Bila legitimasi tersebut dipersoalkan,
biasanya berawal dari pelaksanaan pemilu yang tidak jujur dan tidak adil.
Pemilu-pemilu masa Orde Baru nyaris semua ‘bermasalah’ dan inilah biang dari
kekeroposan legitimasi politik Orde Baru.
4.
Salah satu dampak dari
arus utama (mainstream) politik Orde Baru ialah pemusnahan potensi-potensi
demokrasi. Sebagaimana diungkapakan William Liddle, “sekitar 30 tahun
lalu, sisa-sisa pemerintahan demokratis
di Indonesia dimusnahkan oleh pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan
presiden Soeharto dan para perwira ABRI pendukung Soartoe.” Bagi lidde proses
pemusnahan itu sebenarnya telah dimulai pemerintahan demokrasi terpimpin yang
terjadi akhor tahun 19950-an, yang diciptakan oleh presiden Soekarno dan para
para pemimpin ABRI. Sehungga praktis, ruang gerak yang b ebas dari bagi
demokrasi, hanya berjangka tujuh tahun saja: 1949 -1956. Sebab, kata liddle,
“pada awal 1957, Soekarno dan para pucuk pimpinan ABRI mulai tampil kedepan
untuk menanggulangi pemberontakan yang meletus dibeberapa daerah dan ketidak
mampuan anggota konstituente menyelesaikan konflik tentang bentuk Negara.”
5.
Berkaitan dengan
argumentasi diatas, ialah ambruknya pilar-pilar demokrasi, mengerucutnya budaya
feodalisme dan otoritarian. Kebebasan berpendapat tidak menemukan ruang dan
waktunya yang tepat dimasa Orde Baru pres dibatasi ruang geraknya lewat
pengendalian SIUPP. Oposisi dimandokan, atau dengan kata “dihilangkan” dari
kosa kata perpolitikan Orde Baru. Kritik kepada pemerintah harus disalurkan
lewat salurannya yang tepat misalnya DPRD. Tapi, realitasnya DPRD tidak sekuat
lembaga eksekutif. Saluran-saluran politik, sebagai wahana memperlancar
penyampaian aspirasi politik, tampak buntu.
2.7 Penyimpangan Konstitusi pada Orde Baru
Penyimpangan
terhadap UUD 1945 pada masa Ode Baru
a. MPR
berketetapan tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadap UUD
1945 serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen(pasal 104 ketatapan
MPR No. l/MPR/1983 tata tertib MPR).
b. MPR
mengeluarkan ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang referendum yang mengatur
tata cara perubahan UUD yang tidak sesuai daengan pasal 37 UUD 1945. Setelah
perubahan UUD 1945 yang keempat(terakhir) berjalan kurang lebih 6 tahun,
pelaksanaan UUD 1945 belum banyak dipersoalkan.Lebih-lebih mengingat agenda
reformasi itu sendiri antara lain adalah perubahan (amandemen) UUD 1945. Namun
dapat dipenuhi oleh pemerintah, yaitu anggaran pendidikan dalam APBN yang belum
mencapai 20%. Hal itu ada yang menganggap bertentangan dengan pasal 3 ayat 4
UUD 1945 yang mengatakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Penyimpangan-penyimpangan
terhadap UUD tahun 1945 dapat disederhanakan dalam bagan dibawah ini:
Penyimpangan
terhadap UUD tahun 1945 masa setelah perubahan Orde Baru:
·
Masa Orde Lama masa
awal kemerdekaan dalam bentuk presiden
·
Pidato presiden sebagai
GBHN
·
Pimpinan lembaga negara
sebagai menteri
·
Hak budget tidak
berjalan
·
Pembubaran DPR oleh
presiden
·
Pengangkatan presiden
seumur hidup
a. MPR
tidak berkehendak merubah UUD 1945
b. Mengeluarkan
Tap MPR tentang referendum belum sesuai dengan pasal 31 UUD 1945
c. KNIP
diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN
d. Menerapkan
sistem parlementer
2.8 Runtuhnya sistem ketatanegaraan pada masa
Orde Baru
Setelah
Orde Baru memegang tumpuk kekuasaan dalam mengendalikan pemerintahan, muncul suatu keinginan untuk terus menerus
mempertahankankekuasaannya atau status quo. Hal ini menimbulkan akses-akses
nagatif, yaitu semakinjauh dari tekad awal Orde Baru tersebut. Akhirnya
penyelewengan dan penyimpangandari nilai-nilai Pancasila dan
ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UUD 1945, banyak dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru. Adapun beberapa penyelewengan yang dilakukanpada masa
pemerintahan orde baru yang menyebabkan terjadinya beberapa krisis yangmelanda
negara indonesia, adalah sebagai berikut:
1. Krisis Politik
Dalam
UUD 1945 Pasal 2 telahdisebutkan bahwa “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan
dilaksanakan sepenuhnya olehMPR”. Pada dasarnya secara de jore (secara hukum)
kedaulatan rakyat tersebut dilakukanoleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat,
tetapi secara de facto (dalam kenyataannya)anggota MPR sudah diatur dan
direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR itudiangkat berdasarkan ikatan
kekeluargaan (nepotisme)
Gerakan reformasi menuntut agar dilakukan pembaharuan
terhadap lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber
ketidakadilan, di antaranya :
•UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum
•UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas
danWewenang DPR /MPR
•UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
•UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
•UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum
•UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Dalam
Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 Soeharto terpilih sebagai Presiden Republik
Indonesia dan BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden. Timbul tekananpada
kepemimpinan Presiden Soeharto yang dating dari para mahasiswa dan
kalanganintelektual.
Berikut adalah petikan pidato pengunduran diri
Soeharto:
"Sejak
beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi
nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala
bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang
mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa
reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional.
Demi
terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan
nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan
mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun demikian, kenyataan hingga hari
ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak
adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan Komite tersebut.
Dalam
keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya
menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan
susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi...
Mulai
hari ini pula Kabinet Pembangunan VI demisioner dan kepada para menteri saya
ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk
menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari
kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara
wakil presiden sekarang juga akan melaksanakan sumpah jabatan presiden di
hadapan Mahkamah Agung RI."
Sesaat
kemudian, Presiden Soeharto menyerahkan pucuk pimpinan negeri kepada Prof Dr
Ing BJ Habibie. Setelah melaksanakan sumpah jabatan, akhirnya BJ Habibie resmi
memangku jabatan presiden ke-3 RI. Ucapan selamat datang mulai dari mantan
Presiden Soeharto, pimpinan dan wakil-wakil pimpinan MPR/DPR, para menteri
serta siapa saja yang turut dalam pengucapan sumpah jabatan presiden ketika itu
2.Krisis Moneter
Soeharto
mengumumkan pengunduran dirinya didampingi B.J. Habibie. Pada pertengahan 1997,
Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia, disertai kemarau terburuk
dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang
semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal
dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta
pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, serta
ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR, Soeharto mengundurkan diri pada
21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh.
Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi
presiden ketiga Indonesia.
Pada
masa Orde Baru, perekonomian lebih menberikan kentungan bagikaum modal atau
konglomerat. Hal tersebut adalah wujud dari prakti-praktik KKN
yangmengakibatkan rakyat semakin miskin dan tidak berdaya. Berikut adalah
krisis ekonomi:
a) Kurs rupiah terhadap dolar Amerika melemah pada
tanggal 1Agustus 1997.
b) Pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada
akhir tahun1997.
c) Pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan
Nasional(BPPN) yang mengawasi empat puluh bank bermasalah.
d) Kepercayaan Internasion`l terhadap Indonesia
menurun.
e) Perusahaan milik negara dan swasta banyak yang
tidak dapatmembayar utang luar negeri yang akan dan telah jatuh tempo.
f) Angka pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat
karenabanyak perusahaan yang melakukan efisisensi atau menghentikan
kegiatansama sekali.
g) Persediaan barang nasional, khususnya sembilan
bahanpokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun 1997.
Untuk
mengatasi kesulitan moneter tersebut, pemerintah meminta bantuan dana
pembangunan dari institusi nasional, yaitu International Monetory Fund ( IMF
).Pada tanggal 15 Januari 1998 di jalan Cendana Jakarta, Presiden
Soehartomenandatangani 50 butir Letter Of Intent ( Lol ) yang disaksikan oleh
Direktur IMF Asia,Michel Camdessus, sebagai sebuah syarat untuk mendapatkan
kucuran dana bantuan luar negeri tersebut.Faktor yang menyebabkan krisis
ekonomi di Indonesia adalah masalah utangluar negeri, penyimpangan terhadap
pasal 33 UUD 1945, dan pola pemerintahan yangsentralistik.
a. Utang Luar Negeri Indonesia
Utang
luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang negara,tetapi sebagian
merupak utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan negara hingga 6Februari
1998 mencapai 63,462 miliar dolar Amerika Serikat, sedangkan utang pihak swasta
mencapai 73,962 miliar dolar Amerika Serikat. Ketika terjadi krisis moneter
tahun1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat merosot tajam, bahkan
sempatmencapai Rp 16.000,00. akibat dari utang-utang tersebut, maka kepercayaan
luar negeriterhadap Indonesia semakin menipis. Para pedagang luar negeri tidak
percaya lagitergadap importir Indonesia yang dianggap tidak akan mampu membayar
barangdagangan. Hampir semua negara luar tidak mau menerima Letter Of Credit (
L/C ) dariIndonesia.
b. Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945
Pengaturan
perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauhmenyimpang dari sistem
perekonomian Indonesia. Dalam pasal 33 UUD 1945 tercantumbahwa dasar demokrasi
ekonomi , produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawahpimpinan atau
pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatditafsirkan bukan
merupakan kemakmuran orang per orang, melainkan kemakmuranseluruh masyarakat
dan bangsa Indonesia berdasarkan atas asas kekeluargaan.Perekonomian
berdasarkan asas demokrasi ekonomi bertujuan untuk menciptakankemakmuran bagi
semua orang. Oleh karena itu, cabang-cabang produksi yang pentingdan yang
menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Jika tidak maka
akan jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan akan merugikan rakyat.
Pada
masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan
Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang
dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang
Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan
pasal 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancur
hutan dan sumber alam kita.
Penyimpangan
Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan menjadikan Negara
Republik Indonesia sebagai Negara industri, namun tidak mempertimbangkan
kondisi riil di masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat
agrasis dan tingkat pendidikan yang masih rendah.
Adapun bentuk-bentuk penyimpangan UUD 1945 pada masa
Orde Baru meliputi, antara lain:
1. Terjadi pemusatan kekuasaan di tangan presiden,
sehingga pemerintahan dijalankan secara otoriter
2. Berbagai lembaga kenegaraan tidak berfungsi
sebagaimana mestinya, hanya melayani keinginan pemerintah (presiden)
3. Pemilu dilaksanakan secara tidak demokratis, pemilu
hanya menjadi sarana untuk mengukuhkan kekuasaan presiden, sehingga presiden
terus menerus dipilih kembali
4. Terjadi monopol penafsiran Pancasila. Pancasila ditafsirkan sesuai keinginan pemerintah untuk membenarkan tindakan – tindakannya.
4. Terjadi monopol penafsiran Pancasila. Pancasila ditafsirkan sesuai keinginan pemerintah untuk membenarkan tindakan – tindakannya.
5. Pembatasan hak hak politik rakyat, seperti hak
berserikat, berkumpul, dan berpendapat
6. Pemerintah campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman, sehingga kekuasaan kehakiman tidak merdeka
6. Pemerintah campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman, sehingga kekuasaan kehakiman tidak merdeka
7. Pembentukan lembaga lembaga yang tidak terdapat
dalam konstitusi, yaitu Kopkamtib yang kemudian menjadi Bakorstanas
8. Terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme yang luar
biasa parahnya sehingga merusak segala aspek kehidupan, dan berakibat pada
terjadinya krisis multidimensi
9.monopoli, oligopoli, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
9.monopoli, oligopoli, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
c. Pola Pemerintahan Sentralistik
Pemerintahan
Orde Baru dalam melaksanakan sistem pemerintahanbersifat sentralistis, artinya
semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di atur secara sentral dari
pusat pemerintah ( Jakarta ), sehingga peranan pemerintah pusat
sangatmenentukan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat.Pelaksanaan politik
sentralisasi ini sangat terlihat pada bidang ekonomi,sebagian besar kekayaan
daerah dibawa ke pusat dan pemerintah daerah tidak dapatberbuat banyak karena
dominasi pusat terhadap daerah sangat kuat. Hal tersebutmenimbulkan
ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat.Krisis
moneter dan ekonomi semakin meluas dan menjadi krisismultidimensional. Di
tengah situasi yang semakin melemahnya nilai rupiah, aksi massa,aksi buruh, dan
aksi mahasiswa terjadi dimana-mana. Mereka menuntut agar pemerintahsegera
mengadakan pemulihan ekonomi, sehingga harga-harga sembako turun, tidak lagiada
PHK dan lain-lain.
Krisis Hukum
Pelaksanaan
hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Sejak
munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh kalanganmahasiswa, masalah hukum
juga menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakatmenghendaki adanya reformasi di
bidang hukum agar dapat mendudukkan masalah-masalah hukum pada kedudukan atau
posisi yang sebenarnya.
Krisis Kepercayaan
Demontrasi
di lakukan oleh para mahasiswa bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan
kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4Mei 1998. Puncak aksi para
mahasiswa terjadi tanggal 12 Mei 1998 di UniversitasTrisakti Jakarta. Aksi
mahasiswa yang semula damai itu berubah menjadi aksi kekerasansetelah
tertembaknya empat orang mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia Lesmana,
HeriHartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan.Tragedi Trisakti itu telah
mendorong munculnya solidaritas dari kalangan kampus dan masyarakat yang
menantang kebijakan pemerintahan yang dipandang tidak demokratis dan tidak
merakyat.Soeharto kembali ke Indonesia, namun tuntutan dari masyarakat agar
PresidenSoeharto mengundurkan diri semakin banyak disampaikan. Rencana
kunjunganmahasiswa ke Gedung DPR / MPR untuk melakukan dialog dengan para
pimpinan DPR /
MPR
akhirnya berubah menjadi mimbar bebas dan mereka memilih untuk tetap tinggal
digedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan reformasi total di penuhinya.
Tekanan-tekanan para mahasiswa lewat demontrasinya agar presiden Soeharto
mengundurkan diriakhirnya mendapat tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan DPR
/ MPR. Maka padatanggal 18 Mei 1998 pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan
agar PresidenSoeharto mengundurkan diri.Presiden Soeharto mengadakan pertemuan
dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian Presiden
mengumumkan tentang pembentukanDewan Reformasi, melakukan perubahan kabinet,
segera melakukan Pemilihan Umumdan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai
Presiden.Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi danperubahan
kabinet tidak dapat dilakukan. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998
PresidenSoeharto menyatakan mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden
Republik Indonesiadan menyerahkan Jabatan Presiden kepada Wakil Presiden
Republik Indonesia, B.J.Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah
Agung sebagai PresidenRepublik Indonesia yang baru di Istana Negara
Krisis Sosial
Pada
masa akhir pemerintahan Orde Baru, Indonesia mengalami gejolak politik yang
tinggi baik di tatanan pemerintahan maupun ditingkat pergerakan rakyat
danmaahsiswa.Suhu politik yang memanas menimbulkan berbagai potensi perpecahan
sosialdi masyarakat.Pola transmigrasi yang diterapkan oleh pemerintah tidak
diiringi denganpenanganan solidaritas sosial di daerah tujuan. Pada akhirnya
kecemburuan sosial akibatadanya disparitas tingkat perekonomian tidak daapt
dihindari. Kondisi inilah yangkemudian memicu tuntutan kepada pemerintah pusat
untuk mereformasi polapembangunan ekonomi. Tuntutan inilah yang kemudian
memunculkan kesadaranmasyarakat Indonesia akan pentingnya reformasi bagi
kehidupan bangsa.
BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari pemaparan makalah diatas dapat
di tarik beberapa kesimpulan tentang masa Orde Baru, yang salah satunya yaitu banyak
kecurangan pada masa Orde Baru mulai dari diangkatnya Soeharto hingga runtuhnya
sistem katata negaraan pada masa Orde Baru. Baik penyimpangan pada konstitusi,
pemilu ataupun dalam perebutan tahta kekuasaan. Terjadi perbedaan yang sangat
signifikan pada masa pemerintahan Orde Baru dengan Orde Lama seperti yang
disebutkan diatas. Penyimpangan-penyimpangan tersebut dilakukan demi
kepentingan perseorangan atau kelompok dengan tujuan tertentu yang salah
satunya adalah untuk menjatuhkan pemerintahan Soekarno dan demi mendapatkan
kekuasaan dalam pemerintahan. Penyimpangan pada masa pemerintahan Orde Baru
yaitu
1) peristiwa
pembantaian anggota PKI yang dianggap sebagai pemberontak.
2) Penympangan
konstitusi SUPER SEMAR yang fungsinya sebagai surat perintah untuk menertibkan
keadaan saat itu namun oleh Soeharto digunakan untuk merebut kekuasaan dari
Soekarno
3) Pelaksanaan
pemilu yang terdapat banyak kecurangan, pemilu hanya rekayasa semata dari rezim
Orba
3.2
Saran
Dalam masalah
ini penulis dapat menyarankan bahwa seharusnya kita menerima segala perbedaan
yang ada disekitar seperti perbedaan pendapat dan seharusnya saling menghormati
di dalam perbedaan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2011/05/22/peristiwa-g30s-1965-mengapa-dan-bagaimana/
http://sejarah-bangsa-kita.blogspot.com/2009/12/pengertian-orde-baru.html
http://makalahkuliahjurusanpai.blogspot.com/2011/05/pengertian-demokrasi-pancasila.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281966-1998%29
http://www.syarikat.org/article/pemilu-indonesia-masa-orde-baru
http://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto
http://www.crayonpedia.org/mw/BSE:Berakhirnya_Masa_Orde_Baru_dan_Lahirnya_Reformasi_9.2_%28BAB_13%29
Urbaningrum, Anas. 1999. Ranjau-Ranjau Potret Konflik Politik Pasca
Kejatuhan Soeharto. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
http//indonesia-masa-orde-baru.html.
Kansil. Julianto. 1986. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan
Indonesia. Jakarta:Erlangga
http://afrizalwszaini.wordpress.com/makalah/pembangunan-indonesia-dari-masa-orde-lama-orde-baru-sampai-era-reformasi/
http://irwandydasilva.blogspot.com/2010/04/indonesia-masa-orde-baru.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281966-1998%29
http://ahmadsidqi.wordpress.com/2008/04/10/perbandingan-politik-orde-lama-dengan-politik-orde-baru/
Huda, Nurul. 2010. “Benarkah Soeharto Membunuh Soekarno?”.
Jogjakarta: Starbooks
Hartanto, Agung Dwi. 2011. “ The Missing Link G 30 S: Misteri Sjam
Kamaruzzaman dan Biro Chusus PKI”. Jogjakarta: Narasi
Notosusanto, Nugroho.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2009. “Sejarah
Nasional Indonesia VI”. Jakarta: Balai Pustaka
http://www.syarikat.org/article/pemilu-indonesia-masa-orde-baru
tidak menarik
BalasHapusmakasih, artikelnya sangat bermanfaat. oh iya kalau ada waktu jangan lupa mampir di Tugas dan Materi Kuliah
BalasHapusSalam Kenal,